Berkat ketekunannya di masa lalu, Hartono atau lebih dikenal dengan nama Hartono Sumarsono, pemilik sekaligus founder dari PT. Lintas Persada Anugerah, salah satu perusahaan yang memproduksi batik di Indonesia. Memulai usahanya dengan nama Kencana di Pasar Tanah Abang, bagaimana kisahnya?
OLEH SONIA LAUTHAN
Kisah permulaan
Lahir di Arjiwinangun yang terletak antara Cirebon dan Jatibarang pada tahun 1953, Hartono menginjakkan kakinya ke Jakarta tahun 1968 untuk melanjutkan sekolah. Pagi hari ia bekerja pada pamannya yang memiliki toko batik di Tanah Abang. Siang hari ia menuntut ilmu di SMA Kristen (sekarang BPK Penabur II) di Pintu Air, Pasar Baru.
Hartono sudah mulai menngoleksi batik sejak ia berumur 20-an. Pada masa itu, ia sering pergi ke Jalan Surabaya untuk mencari keramik tua. Disitulah ia tahu kalau banyak orang asing sedang giat berburu batik tua. Ia pun tergugah untuk mengoleksi batik lama yang bagus-bagus.
“Keramik bisa bertahan lama sekali, bahkan kalau terkubur didalam tanah atau di dasar laut, tetapi batik termasuk mudah rusak walaupun disimpan di lemari. Makanya mumpung belum habis diboyong ke mancanegara dan belum habis dimakan iklim tropis dan waktu.” Jelas Pak Hartono.
Atas anjuran sang paman, tahun 1972, Hartono membuka toko batik sendiri di Pasar Jatinegara. “Kalau dalam waktu dua tahun kamu yakin berdagang batik bukan bidangmu, masih ada kesempatan untuk melanjutkan belajar ke perguruan tinggi. Itu kata paman saya waktu itu.” Ungkap Pak Hartono, bagaimana ia bisa memulai usaha dagangnya kala itu.
“Saya pertama kali belajar batik itu dari Adrian Idris, seorang konsultan kolektor barang antik dan narasumber oleh peneliti asing. Setelah beli koleksi kebanggaan punya seorang kolektor, saya akhirnya jadikan itu sebagai bahan perbandingan dan acuan. Dulu saya koleksi sekitar seribu helai, nah sekarang tingal 400 helai, setelah saya seleksi dengan ketat, karena batik tua butuh pemeliharaan yang cermat dan tempat penyimpanan yang layak.” Ujar Pak Hartono bercerita tentang kain batik yang ia simpan sampai sekarang.
“Saya bersyukur saat UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) pada tanggal 2 Oktober 2009 menyatakan secara resmi bahwa batik Indonesia adalah Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity). Karena, itu berarti apa yang selama ini saya tekuni dihargai di seluruh dunia dan suatu kebanggaan bagi saya kalau budaya milik negara sendiri diakui oleh banyak orang, terutama dunia ini.” Tambah Pak Hartono.
Mulai mandiri
Kencana Ungu akhirnya berjaya di tahun 90-an, karena produk unggulan yang tetap eksis dikalangan konsumen. Kencana Ungu mencapai kesuksesannya bermula dari pe- ngenalan terhadap kondisi pasar pada saat itu. Kedua, menentukan pasar, yaitu menen- tukan barang apa yang cocok untuk dijual pada saat itu, awalnya Kencana hanya men- jual pakaian biasa, bukan kain batik. Lalu akhirnya, Pak Hartono menentukan batik sebagai pilihannya.
“Mulanya, saya jatuh cinta pada batik ketika membantu paman saya berjualan di toko batiknya. Waktu itu saya masih duduk dibangku SMA dan berumur 16 tahun. Saya segera menyadari bahwa batik-batik masa itu, tidak sehalus yang dipakai nenek saya atau orang-orang yang sebaya dengannya.” Kata Pak Hartono saat ditemui di galerinya yang berada di Karet, Jakarta Pusat.
Ketiga, mengenalkan produk ke masyarakat. “Belum sulit pada saat itu, karena pasar yang menjual pakaian batik masih sedikit pada tahun itu.” Katanya. Keempat, merebut pasar, dimana nama Toko Batik Kencana Ungu pada saat itu sudah terkenal di seluruh Blok A Pasar Tanah Abang. Lalu, kelima, mempertahankan pasar. “Inilah bagian tersulit, karena pada tahun 2002 terjadi kebakaran di Blok A Pasar Tanah Abang. Beruntungnya, semuanya selamat, hanya toko saja yang habis terbakar.” Kata Pak Hartono. Namun, setelah gedung Blok A yang baru mulai beroperasi, nama Kencana Ungu tetap eksis.
“Selain itu, yang menjadi kunci kesuksesan saya adalah saling percaya satu sama lain. Saya memutuskan membuka cabang baru dan mempercayakannya kepada orang lain, tapi tetap dibawah pengawasan saya.” ujar Pak Hartono. Dan hingga sekarang Kencana Unggu terus melebarkan sayapnya dan meningkatkan pasaran dengan membuka cabang di mall.
Cabang di mall adalah awal bagi Kencana Ungu agar lebih dikenal oleh seluruh kalangan masyarakat. Mulai bersaing dengan toko-toko batik lainnya, Pak Hartono tak gentar. Bahkan, kini Andrianto Kurniawan, anak tunggalnya sudah mulai menggantikannya untuk mengawasi perkembangan di mall. Bak buah jatuh tak jauh dari pohonnya, sama seperti sosok sang ayah, Andri membawa perubahan bagi cabang di mall supaya lebih berkelas dan juga cepat berkembang.
Apa saja suka duka dalam berdagang batik?
“Membuat batik halus itu perlu waktu yang lama bisa memakan waktu berbulan-bulan, bahkan mungkin bisa setahun. Selain, keterampilam dan ketekunan yang luar biasa, perlu pengawasan terus-menerus, karena produksi tidak bisa dilakukan secara massal. Seringkali kami mengalami kegagalan produk, karena seperti yang kita ketahui bahwa batik itu mudah rapuh. Akibatnya, harganya menjadi jauh lebih mahal daripada produk industri tekstil yang memakai mesin-mesin modern.” Ujar Pak Hartono.
“Awalnya saya merasa frustrasi dengan keadaan yang seperti ini, tapi saya terus mencoba, sampai saya mengoleksi batik-batik yang dibuat pada zaman keemasannya, menjelang awal abad ke-20 sampai pertengahan abad yang lalu.
Layaknya seperti kolektor pemula, saya kesulitan menemukan batik antik yang bagus. Namun kian lama banyak pedagang batik antik yang menghubungi saya yang memungkinkan saya untuk lebih selektif. Saya mulai mengganti batik-batik saya yang kurang memuaskan dengan yang lebih baik dan akhirnya saya tahu bahwa mutu-lah yang diutamakan, bukan jumlah seberapa banyak yang bisa dihasilkan.” Jelas Pak Hartono sambil menunjukkan koleksi batiknya.
“Bukan bicara soal suka ataupun dukanya melainkan, tentang pengalaman saya meneliti dunia batik selama dua puluh tahun. Jatuh bangun saya tentang menjaga warisan budaya yang diwariskan oleh nenek moyang supaya tetap dikenal oleh masyarakat luas. Saya mulanya tak memiliki modal apa-apa, yang saya miliki hanya pengalaman yang merupakan praktik dasar dalam hidup saya tentang mengenal kualitas batik, sekaligus membuka kesempatan bagi saya untuk mengenal berbagai gaya desain yang laku di pasaran.” Lanjut Pak Hartono.
Perjuangan demi koleksi
Bapak Hartono tak hanya belajar dari pengalaman saja, tapi beliau juga berusaha keras, hampir dua puluh tahun beliau mengumpulkan kain batik lama untuk dikoleksi. Akhirnya, beliau berusaha mencari pedagang Minang, di Jl. Surabaya, yang pada waktu itu masih merupakan sumber yang kaya.
Berkat pengetahuan yang dikembangkan hampir empat puluh tahun ini, kini batik pesisir menjadi pilhan utama Pak Hartono. Sebagian besar dari koleksinya terdiri atas batik asal Pekalongan, yang dianggap sebagai kota yang dapat menghasilkan karya terhalus.
“Yang menarik disini justru adalah bagian-bagian dari koleksi Pak Hartono, yang oleh mayoritas kolektor jarang dihitung sebagai batik pesisir.” Ujar Rens Heringa, seorang antropolog dan penulis buku.
Menarik memang, dimulai pada akhir tahun 60-an, padahal pada saat itu produksi batik di berbagai daerah seluruh Pulau Jawa masih cukup besar. Apalagi batik pada periode itu masih diekspor dalam jumlah besar ke daerah lain di seluruh Indonesia, bahkan ke beberapa negara Asia lain. Dengan demikian, batik dengan berbagai gaya dan kualitas masih ramai dipakai oleh semua lapisan masyarakat dari golongan bawah hingga atas.
Menjaga nama baik
Bagaimana cara Kencana Ungu menjaga kualitas produknya di masyarakat?
“Tentunya, kami lakukan koordinasi dengan setiap toko di setiap bulannya untuk mengetahui, produk jenis apa yang sedang eksis dan produk apa yang sedang dibutuhkan masyarakat saat ini.” Ujar Pak Hartono.
Kencana Ungu juga punya slogan menarik, yaitu “Always The Best” yang mana artinya selalu ingin jadi yang terbaik, baik di mata masyarakat awam, terutama bagi masyarakat Indonesia. Batik merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang harus dilestarikan dan sebuah karya yang patut kita hargai. Sebagaimana Indonesia sebagai pemilik budaya batik yang asli, demikian kita anak bangsa membudayakan batik di Indonesia. Seperti, Pak Hartono ketika ia menghargai sebuah karya batik, disitulah ia temukan kesuksesannya dalam dunia batik. Disaat kita menghargai karya orang lain, maka orang lain pun juga akan merhargai kita.
“Dunia penggemar dan peneliti batik Indonesia boleh sangat berterima kasih kepada Bapak Hartono Sumarsono yang berbagi keindahan batiknya yang berharga ini.” Kata Rens Heringa.
“Disini saya juga ingin menyampaikan terima kasih kepada banyak pihak, diantaranya tentu saja kepada istri saya, Herawati Tjokrosendjojo, yang dengan sepenuh hati mendukung dan membantu saya dengan setia. Kepada putra saya, Andrianto Kurniawan. Juga kepada Rens Heringa, seorang antropolog dan penulis sejak tahun 1960-an untuk saran dan kritiknya di saat-saat terakhir. Juga untuk seluruh pihak yang pernah terlibat dalam kehidupan saya. Kiranya, Tuhan Yang Maha Esa memberkati kita semuanya.
Demikian, kisah tenang jatuh bangun Toko Batik Kencana Ungu yang sebelumnya tidak memiliki produk, sampai akhirnya memiliki produk unggulan yang masih eksis hingga sekarang. Kiranya batik di Indonesia terus berkembang hingga sampai ke seluruh dunia, dan Indonesia dilihat oleh mata dunia sebagai negara yang kaya akan budaya warisan nenek moyangnya.
OLEH SONIA LAUTHAN
Kencana atau yang kini dikenal sebagai Kencana Ungu, berdiri pada tahun 1980-an pertama kali di Pasar Blok A Lama Tanah Abang. Usahanya terus berkembang dan Hartono memproduksi tekstil bermotif batik dan pakaian dari tekstil bermotif batik yang diberi label Kencana Ungu. Pada tahun 90-an, Kencana Ungu mulai melebarkan sayapnya, melalui produk unggulannya, yaitu produk printing, dengan kualitas unggul dan harga yang diperuntukkan bagi masyarakat menengah ke bawah, namun perlahan Kencana Ungu juga membuat produk unggulan lainnya untuk masyarakat menengah ke atas. Dengan mengem- bangkan dua produk unggulan yaitu produk printing dan cetak, yang bekerja sama dengan produsen pabrik di Solo dan Pekalongan, yang tentunya sesuai dengan kualitas Kencana Ungu.
Kisah permulaan
Lahir di Arjiwinangun yang terletak antara Cirebon dan Jatibarang pada tahun 1953, Hartono menginjakkan kakinya ke Jakarta tahun 1968 untuk melanjutkan sekolah. Pagi hari ia bekerja pada pamannya yang memiliki toko batik di Tanah Abang. Siang hari ia menuntut ilmu di SMA Kristen (sekarang BPK Penabur II) di Pintu Air, Pasar Baru.
Hartono sudah mulai menngoleksi batik sejak ia berumur 20-an. Pada masa itu, ia sering pergi ke Jalan Surabaya untuk mencari keramik tua. Disitulah ia tahu kalau banyak orang asing sedang giat berburu batik tua. Ia pun tergugah untuk mengoleksi batik lama yang bagus-bagus.
“Keramik bisa bertahan lama sekali, bahkan kalau terkubur didalam tanah atau di dasar laut, tetapi batik termasuk mudah rusak walaupun disimpan di lemari. Makanya mumpung belum habis diboyong ke mancanegara dan belum habis dimakan iklim tropis dan waktu.” Jelas Pak Hartono.
Atas anjuran sang paman, tahun 1972, Hartono membuka toko batik sendiri di Pasar Jatinegara. “Kalau dalam waktu dua tahun kamu yakin berdagang batik bukan bidangmu, masih ada kesempatan untuk melanjutkan belajar ke perguruan tinggi. Itu kata paman saya waktu itu.” Ungkap Pak Hartono, bagaimana ia bisa memulai usaha dagangnya kala itu.
“Saya pertama kali belajar batik itu dari Adrian Idris, seorang konsultan kolektor barang antik dan narasumber oleh peneliti asing. Setelah beli koleksi kebanggaan punya seorang kolektor, saya akhirnya jadikan itu sebagai bahan perbandingan dan acuan. Dulu saya koleksi sekitar seribu helai, nah sekarang tingal 400 helai, setelah saya seleksi dengan ketat, karena batik tua butuh pemeliharaan yang cermat dan tempat penyimpanan yang layak.” Ujar Pak Hartono bercerita tentang kain batik yang ia simpan sampai sekarang.
“Saya bersyukur saat UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) pada tanggal 2 Oktober 2009 menyatakan secara resmi bahwa batik Indonesia adalah Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity). Karena, itu berarti apa yang selama ini saya tekuni dihargai di seluruh dunia dan suatu kebanggaan bagi saya kalau budaya milik negara sendiri diakui oleh banyak orang, terutama dunia ini.” Tambah Pak Hartono.
Mulai mandiri
Kencana Ungu akhirnya berjaya di tahun 90-an, karena produk unggulan yang tetap eksis dikalangan konsumen. Kencana Ungu mencapai kesuksesannya bermula dari pe- ngenalan terhadap kondisi pasar pada saat itu. Kedua, menentukan pasar, yaitu menen- tukan barang apa yang cocok untuk dijual pada saat itu, awalnya Kencana hanya men- jual pakaian biasa, bukan kain batik. Lalu akhirnya, Pak Hartono menentukan batik sebagai pilihannya.
“Mulanya, saya jatuh cinta pada batik ketika membantu paman saya berjualan di toko batiknya. Waktu itu saya masih duduk dibangku SMA dan berumur 16 tahun. Saya segera menyadari bahwa batik-batik masa itu, tidak sehalus yang dipakai nenek saya atau orang-orang yang sebaya dengannya.” Kata Pak Hartono saat ditemui di galerinya yang berada di Karet, Jakarta Pusat.
Ketiga, mengenalkan produk ke masyarakat. “Belum sulit pada saat itu, karena pasar yang menjual pakaian batik masih sedikit pada tahun itu.” Katanya. Keempat, merebut pasar, dimana nama Toko Batik Kencana Ungu pada saat itu sudah terkenal di seluruh Blok A Pasar Tanah Abang. Lalu, kelima, mempertahankan pasar. “Inilah bagian tersulit, karena pada tahun 2002 terjadi kebakaran di Blok A Pasar Tanah Abang. Beruntungnya, semuanya selamat, hanya toko saja yang habis terbakar.” Kata Pak Hartono. Namun, setelah gedung Blok A yang baru mulai beroperasi, nama Kencana Ungu tetap eksis.
“Selain itu, yang menjadi kunci kesuksesan saya adalah saling percaya satu sama lain. Saya memutuskan membuka cabang baru dan mempercayakannya kepada orang lain, tapi tetap dibawah pengawasan saya.” ujar Pak Hartono. Dan hingga sekarang Kencana Unggu terus melebarkan sayapnya dan meningkatkan pasaran dengan membuka cabang di mall.
Cabang di mall adalah awal bagi Kencana Ungu agar lebih dikenal oleh seluruh kalangan masyarakat. Mulai bersaing dengan toko-toko batik lainnya, Pak Hartono tak gentar. Bahkan, kini Andrianto Kurniawan, anak tunggalnya sudah mulai menggantikannya untuk mengawasi perkembangan di mall. Bak buah jatuh tak jauh dari pohonnya, sama seperti sosok sang ayah, Andri membawa perubahan bagi cabang di mall supaya lebih berkelas dan juga cepat berkembang.
Apa saja suka duka dalam berdagang batik?
“Membuat batik halus itu perlu waktu yang lama bisa memakan waktu berbulan-bulan, bahkan mungkin bisa setahun. Selain, keterampilam dan ketekunan yang luar biasa, perlu pengawasan terus-menerus, karena produksi tidak bisa dilakukan secara massal. Seringkali kami mengalami kegagalan produk, karena seperti yang kita ketahui bahwa batik itu mudah rapuh. Akibatnya, harganya menjadi jauh lebih mahal daripada produk industri tekstil yang memakai mesin-mesin modern.” Ujar Pak Hartono.
“Awalnya saya merasa frustrasi dengan keadaan yang seperti ini, tapi saya terus mencoba, sampai saya mengoleksi batik-batik yang dibuat pada zaman keemasannya, menjelang awal abad ke-20 sampai pertengahan abad yang lalu.
Layaknya seperti kolektor pemula, saya kesulitan menemukan batik antik yang bagus. Namun kian lama banyak pedagang batik antik yang menghubungi saya yang memungkinkan saya untuk lebih selektif. Saya mulai mengganti batik-batik saya yang kurang memuaskan dengan yang lebih baik dan akhirnya saya tahu bahwa mutu-lah yang diutamakan, bukan jumlah seberapa banyak yang bisa dihasilkan.” Jelas Pak Hartono sambil menunjukkan koleksi batiknya.
“Bukan bicara soal suka ataupun dukanya melainkan, tentang pengalaman saya meneliti dunia batik selama dua puluh tahun. Jatuh bangun saya tentang menjaga warisan budaya yang diwariskan oleh nenek moyang supaya tetap dikenal oleh masyarakat luas. Saya mulanya tak memiliki modal apa-apa, yang saya miliki hanya pengalaman yang merupakan praktik dasar dalam hidup saya tentang mengenal kualitas batik, sekaligus membuka kesempatan bagi saya untuk mengenal berbagai gaya desain yang laku di pasaran.” Lanjut Pak Hartono.
Perjuangan demi koleksi
Bapak Hartono tak hanya belajar dari pengalaman saja, tapi beliau juga berusaha keras, hampir dua puluh tahun beliau mengumpulkan kain batik lama untuk dikoleksi. Akhirnya, beliau berusaha mencari pedagang Minang, di Jl. Surabaya, yang pada waktu itu masih merupakan sumber yang kaya.
Berkat pengetahuan yang dikembangkan hampir empat puluh tahun ini, kini batik pesisir menjadi pilhan utama Pak Hartono. Sebagian besar dari koleksinya terdiri atas batik asal Pekalongan, yang dianggap sebagai kota yang dapat menghasilkan karya terhalus.
“Yang menarik disini justru adalah bagian-bagian dari koleksi Pak Hartono, yang oleh mayoritas kolektor jarang dihitung sebagai batik pesisir.” Ujar Rens Heringa, seorang antropolog dan penulis buku.
Menarik memang, dimulai pada akhir tahun 60-an, padahal pada saat itu produksi batik di berbagai daerah seluruh Pulau Jawa masih cukup besar. Apalagi batik pada periode itu masih diekspor dalam jumlah besar ke daerah lain di seluruh Indonesia, bahkan ke beberapa negara Asia lain. Dengan demikian, batik dengan berbagai gaya dan kualitas masih ramai dipakai oleh semua lapisan masyarakat dari golongan bawah hingga atas.
Menjaga nama baik
Bagaimana cara Kencana Ungu menjaga kualitas produknya di masyarakat?
“Tentunya, kami lakukan koordinasi dengan setiap toko di setiap bulannya untuk mengetahui, produk jenis apa yang sedang eksis dan produk apa yang sedang dibutuhkan masyarakat saat ini.” Ujar Pak Hartono.
Kencana Ungu juga punya slogan menarik, yaitu “Always The Best” yang mana artinya selalu ingin jadi yang terbaik, baik di mata masyarakat awam, terutama bagi masyarakat Indonesia. Batik merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang harus dilestarikan dan sebuah karya yang patut kita hargai. Sebagaimana Indonesia sebagai pemilik budaya batik yang asli, demikian kita anak bangsa membudayakan batik di Indonesia. Seperti, Pak Hartono ketika ia menghargai sebuah karya batik, disitulah ia temukan kesuksesannya dalam dunia batik. Disaat kita menghargai karya orang lain, maka orang lain pun juga akan merhargai kita.
“Dunia penggemar dan peneliti batik Indonesia boleh sangat berterima kasih kepada Bapak Hartono Sumarsono yang berbagi keindahan batiknya yang berharga ini.” Kata Rens Heringa.
“Disini saya juga ingin menyampaikan terima kasih kepada banyak pihak, diantaranya tentu saja kepada istri saya, Herawati Tjokrosendjojo, yang dengan sepenuh hati mendukung dan membantu saya dengan setia. Kepada putra saya, Andrianto Kurniawan. Juga kepada Rens Heringa, seorang antropolog dan penulis sejak tahun 1960-an untuk saran dan kritiknya di saat-saat terakhir. Juga untuk seluruh pihak yang pernah terlibat dalam kehidupan saya. Kiranya, Tuhan Yang Maha Esa memberkati kita semuanya.
Demikian, kisah tenang jatuh bangun Toko Batik Kencana Ungu yang sebelumnya tidak memiliki produk, sampai akhirnya memiliki produk unggulan yang masih eksis hingga sekarang. Kiranya batik di Indonesia terus berkembang hingga sampai ke seluruh dunia, dan Indonesia dilihat oleh mata dunia sebagai negara yang kaya akan budaya warisan nenek moyangnya.

Komentar
Posting Komentar